Di usianya yang hampir seabad, Mak Emun masih harus bekerja keras demi bertahan hidup. Dengan tubuh renta dan kaki yang tak lagi kuat, setiap hari ia mencari daun kelapa sawit yang tak terpakai untuk dijadikan sapu lidi. Dalam sehari, Mak Emun bisa membuat 24 ikat sapu lidi, tapi setiap ikat hanya dihargai Rp1.200 oleh pengepul. Jika beruntung, ia bisa mendapatkan Rp30.000 sehari, tapi itu pun masih jauh dari cukup.

Bukan hanya usianya yang tua, tapi bebannya pun berat. Mak Emun tinggal di rumah tua berdinding bilik bambu dan beratap kayu yang rapuh. Saat angin kencang bertiup, atap rumah roboh dan berjatuhan. Saat hujan turun, air merembes ke dalam, memenuhi rumah dengan ember-ember penampung air bocor. Di rumah itulah, Mak Emun merawat anaknya, Teh Endeng, yang mengalami gangguan jiwa akibat depresi setelah ditinggal suaminya.

Meski tubuhnya sudah lemah, Mak Emun tetap berjuang demi anaknya. Dengan tangan yang sering gatal karena daun kelapa sawit dan panas matahari, dengan kaki yang semakin sulit berdiri lama, ia tetap memaksakan diri. Mak Emun bahkan tak memiliki WC, terpaksa harus pergi ke sungai untuk membersihkan diri.

Uang yang didapatnya nyaris tak cukup untuk sekadar membeli beras. Jika pun ada, Mak Emun hanya makan nasi dengan garam atau kerupuk, berbagi dengan anaknya. Ia ingin berobat untuk mengatasi gatal-gatal di tangannya, tapi ia lebih memilih membeli beras daripada obat. Bahkan, tak jarang ia melewatkan makan karena tak punya uang.

Di balik senyumnya, Mak Emun menyimpan kelelahan dan kesedihan. Kadang ia berpikir ingin menyerah, ingin menyusul suaminya yang telah lama meninggal. Tapi satu hal yang membuatnya tetap bertahan, ia ingin melihat anaknya sembuh dan hidup lebih layak.

Teman-teman mari bantu Mak Emun dan Teh Endeng!

Bantu mereka agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Donasi kamu bisa membantu biaya pengobatan Teh Endeng dan mencukupi kebutuhan hidup Mak Emun. Bersama, kita bisa meringankan beban mereka.