
Berjuang Jadi Badut Demi Anak Sematawayang
terkumpul dari target Rp 70.000.000
Setiap hari Abah Cepi bangun di kontrakan kecil berukuran tiga kali empat meter bersama anak semata wayangnya Safira. Ruangan itu hanya diterangi satu lampu redup yang menjadi saksi perjuangan mereka. Di usia 50 tahun Abah masih berusaha keras agar Safira bisa sekolah dan tidak kekurangan makan, meski penghasilan dari kerja sebagai badut jalanan hanya sekitar tiga puluh ribu rupiah sehari. Kadang mereka hanya makan sekali, itupun dari pemberian orang di jalan yang tergerak hati melihat kondisi Abah dan anaknya.
Safira baru bisa masuk sekolah dasar di usia sembilan tahun. Ia datang dengan seragam bekas, tas yang mulai sobek, dan sepatu yang dibeli seadanya. Tapi senyum di wajah kecilnya tetap berusaha tampak cerah. Sayangnya di sekolah, Safira sering menjadi bahan ejekan. Teman-temannya mengejek karena usianya lebih tua dan karena mereka tahu Safira adalah anak seorang badut jalanan. Pernah suatu kali Safira pulang dengan mata sembab dan berkata pelan, “Aku malu, Bah.”
Abah hanya bisa memeluk anaknya dan menenangkan hatinya yang hancur. Dalam diam Abah tahu, bukan mudah bagi Safira untuk tetap bertahan di tengah ejekan itu. Namun di balik kesedihan itu, Abah selalu berusaha tersenyum di jalanan. Dengan kostum badut yang lusuh dan topeng retak, ia menari di bawah panas matahari dan debu kendaraan, bukan untuk meminta belas kasihan, tapi untuk menghibur orang lain dan menutupi kesedihan dalam dirinya.
Sering kali Abah melihat orang-orang tertawa karena tingkahnya, padahal di balik topeng itu hatinya menangis. Ia bukan hanya badut, ia seorang ayah yang menukar lelahnya demi melihat anaknya tetap bisa belajar dan tertawa. Kadang Safira ikut menemani Abah di jalan, duduk di trotoar sambil menunggu ayahnya selesai bekerja. Mereka pulang malam hari, berjalan kaki menyusuri jalan yang sepi, lalu makan seadanya dengan rasa syukur yang dalam.
Abah bercerai sejak lama dan Safira memilih tinggal bersamanya karena tak tahan dengan kemarahan ibunya. Sejak itu mereka hanya punya satu sama lain untuk saling menguatkan. Bagi Abah, Safira adalah alasan untuk terus berjuang meski hidupnya terasa berat. Saat Safira tertawa kecil karena mendapat makanan dari orang baik, Abah merasa seperti diberi hadiah paling berharga di dunia.
Kini Abah hanya berharap Safira bisa terus sekolah tanpa harus menahan malu, dan dirinya bisa memiliki usaha kecil agar tidak perlu lagi jadi badut di jalanan. Ia ingin bisa memberi tempat tinggal yang layak, pakaian yang bersih, dan masa depan yang lebih baik untuk anak yang paling ia cintai. Di balik senyum badut itu, tersimpan doa seorang ayah yang tak pernah padam, berharap masih ada hati yang tergerak untuk membantu mereka keluar dari kesulitan ini.
Halo #TemanKebaikan !
Lihat dan rasakan kebaikan dari kamu yang #BeneranBerdampak untuk semua di link berikut ini ya:)
https://sajiwafoundation.org/publications/sajiwa-news
Mengapa Sajiwa Foundation?
1. Pendampingan yang dilakukan merupakan bentuk Integrasi Kebutuhan Material dan Non Material
2. Memiliki Objektif pendampingan SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-Bound) yang disusun berdasarkan asesmen kebutuhan penerima manfaat.
3. Dijalankan dengan prinsip pertemanan yang menyenangkan.
4. Sajiwa Foundation terdaftar dan diawasi oleh Kemenkumham, Dinsos Kota Bandung dan Dinsos Jawa Barat.
5. Setiap bulan Sajiwa Foundation melaporkan Aktivitas Program dan Laporan Keuangan bulanan di laman website.
https://sajiwafoundation.org/
Jl. Atlas Raya No.21, Babakan Surabaya, Kec. Kiaracondong, Kota Bandung, Jawa Barat 40281
02220504715
Hubungi kami jika kamu ingin berkolaborasi lebih lanjut ke nomor resmi ini ya :)
085174166464

Berjuang Jadi Badut Demi Anak Sematawayang
terkumpul dari target Rp 70.000.000