Temani Perjuangan Lansia Produktif
terkumpul dari target Rp 200.000.000
“Eweuh deui nu dipake ceurik beurang jeung peutingteh, Abahmah hayang ngomean Imah, karunya si Nini mun hujan angin osok gogoakan da sieun runtuh, jaba cai cur-cor ti luhur ti handap. ( tidak ada lagi yang bikin nangis siang malam, Abah cuman ingin benerin rumah, kasihan si Nenek kalau hujan besar suka nangis ketakutan rumahnya rubuh, mana air mengalir dari atas juga dari bawah” itulah sepenggal kata yang diucapkan oleh abah Rohim saat mengungkapkan harapannya.
Abah Rohim merupakan sapaan akrab dari kakek tua yang saat ini berusia 83 tahun itu. Saat pagi buta, abah rohim sudah bersiap membawa dua buah ember untuk pergi ke mushola yang cukup jauh dari rumahnya. Lantunan adzan subuh ia kumandangkan memanggil warga sekitar untuk berjamaah di sana. Setelah melaksanakan sholat, abah Rohim selalu pulang membawa air untuk kebutuhannya. Hal itu ia lakukan karena memang ia tak mempunyai sumber air.
Selepas ia pulang, iapun segera mempersiapkan tungku api yang ia buat sendiri secara sederhana guna memasak air dan menanak nasi. Kemudian seraya menunggu nasi yang dibuatnya matang, ia segera pergi kembali membawa pakaian kotor miliknya dan isterinya untuk dibersihkan di tempat pemandian umum.
Barulah setelah selesai mencuci dan nasi yang ia masak telah matang, ia segera menyuapi isterinya yang mengalami kebutaan karena penyakit katarak yang dideritanya.
Lagi pula mak Eti sapaan akrab isterinya itu yang berusia 78 tahun, juga sudah tak mampu lagi berjalan entah karena sakit apa karena tak pernah di periksakan ke dokter.
Tempat bernaung abah Rohim sangat jauh dari kata layak, bagi pasangan lansia yang tak mempunyai keturunan. Ya dari pernikahan abah Rohim dan Nini Eti rupanya tidak dikaruniani keturunan. Mereka hanya tinggal berdua dalam gubuk tua yang mulai lapuk berukuran tidak lebih dari 3x3 m^2. Ruangan yang sempit hanya terbagi untuk tempat mereka berbaring dan tempat memasak saja, tanpa kamar mandi.
Tak berapa lama setelah matahari terbit ia segera pergi berjalan menuju perkebunan melinjo milik orang yang ia kenal guna memetik daun melinjo muda untuk Ia jajakan di siang harinya. Sepanjang jalan terlihat banyak orang yang menyapa beliau saat berpapasan, hal ini karena sifat abah Rohim yang dikenal ramah oleh masyarakat.
Abah Rohim merupakan pribadi yang ramah dan pekerja keras. Kemampuannya bersosialisasi dan kemauan kerjanya yang tinggi mendapatkan pujian dari orang-orang yang mengenalnya. Kakek tua yang selalu tersenyum penuh dengan canda yang tak pernah habis. Matanya masih memancarkan semangat dan rasa syukur akan kehidupan yang ia jalani, meskipun mungkin bagi kita yang melihatnya bukanlah hidup yang mudah.
Jarak yang jauh dan terjal ia lalui setiap hari dengan tubuh tuanya. Sesampainya di perkebunan ia segera membawa tangga bambu sederhana yang cukup tinggi dan berat untuk mencari daun melinjo yang bisa ia petik. Pepohonan yang tinggi tak sedikitpun membuat ia ragu untuk naik.
Meskipun tak jarang saat ia mencari daun melinjo muda itu ia harus berhadapan dengan ular hijau, semut rangrang bahkan lebah, ia tak pernah gentar. Bahkan pernah suatu waktu ia bertemu dengan babi hutan saat sedang bekerja di perkebunan itu. Bukan hanya itu saja, abah rohim pernah beberapa kali terjatuh akibat tangga bambu yang ia gunakan kehilangan tumpuan atau patah saat dipijak, hingga pernah tidak sadarkan diri.
"Hoyongnamah kapok ngala daun teh, ngan mun kapok berarti abah jeung Nini moal tuang tea atuh, da bade timana pami Abah henteu ngarah mah, hirup nga gulang-guling duaan bari si Nini geus teu bisa nanaon, anak turunan teu gaduh (inginya si kapok gak ngambil daun melinjo lagi, cuman kalau kapok berarti abah dan Nenek gak bisa makan, mau darimana kalau nggak abah yang ikhtiar, hidup cuman saling bergantung berdua saja apalagi sekarang si Nenek udah gak bisa ngapa-ngapain, anak turunan pun kita gak punya)" Abah menuturkan alasan kenapa Ia masih menekuni mengambil daun meski beberapa kali mengalami musibah.
Menjelang siang abah Rohim kembali ke rumahnya menyiapkan daun melinjo muda yang didapatnya untuk ia jajakan di samping jalan. Itupun ia lakukan setelah merawat sang isteri di rumah.
Jarak menuju tempatnya menjajakan daun melinjo itu juga tak terbilang dekat dari tempat tinggalnya. Abah Rohim terlihat dengan sabar menunggu pembeli yang datang. Abah Rohim kadang tertidur ketika itu, mungkin tubuh rentanya lelah setelah melalui hari yang panjang dan tak mudah.
Ketika ada pembeli, abah Rohim selalu melayani mereka dengan senyum yang ramah. Meski begitu tak jarang Abah harus pulang dengan tangan hampa karena tidak ada satupun pembeli. Jikapun habis semua tak banyak rupiah yang bisa Abah bawa pulang hanya berkisar Rp. 20.000 sampai Rp. 25.000 saja.
Adalagi, Abah Ojat (78) setiap hari jalan puluhan kilometer untuk memulung barang bekas. Setiap tempat sampah disinggahi demi sesuap nasi agar bisa bertahan hidup.
Inilah kisah pilu Abah Ojat, seorang lansia yang hidup di gubuk yang kurang layak huni. Sejak istrinya meninggal dunia, Abah Ojat tinggal sendiri bersama barang-barang bekas yang sudah dikumpulkannya, tidur menggunakan kardus bekas diatas tanah.
Abah Ojat memungut sampah dari pagi buta. Jika tidak, Abah Ojat hanya akan dapat sisanya karena banyak pemulung lain yang juga datang dan menghabiskan barang-barang bekas di tempat pembuangan.
Abah Ojat butuh waktu lama untuk berjalan mengumpulkan sampah karena kondisi fisiknya. Alhasil uang yang didapatkan pun sedikit karena barang bekas yang dikumpulkannya sedikit dan lama untuk dijual.
"Kalau ga ada uang, Alhamdulillah abah sering nemu makanan di tempat sampah. Kalo makanannya udah kotor dan masih bisa dicuci, ya abah cuci daripada ga makan sama sekali," ungkap Abah Ojat.
Hidup sebatang kara diusia senja tanpa bisa melihat, tanpa anak dan istri membuat Abah Ade (57) sering merasa kesepian.
Sehari-hari Abah Ade bekerja sebagai tukang pijat keliling demi sesuap nasi untuk mengisi perutnya yang kosong. Sudah puluhan tahun Abah Ade jadi tukang pijat, tapi kini pelanggannya semakin berkurang sejak taun 2020.
Kadang saat matahari sudah terbenam pun Abah Ade masih duduk di tepi jalan menggunakan kalung kertas bertuliskan “Jasa Pijat Bayar Seikhlasnya”.
Jika Abah Ade sakit dan tak ada pelanggan yang datang, Abah Ade hanya bisa menahan lapar di gubuknya.
Insan Baik, yuk bantu Abah Rohim dan lansia dhuafa lainnya pejuang nafkah jalanan yang masih berjuang demi sesuap nasi!
Disclaimer : Donasi yang terkumpul akan dipergunakan untuk kebutuhan pokok. Serta akan di gunakan untuk penerima manfaat lansia pejuang lainnya, juga kegiatan sosial kemanusiaan dibawah naungan dan pendampingan Yayasan Amal Baik Insani.
Temani Perjuangan Lansia Produktif
terkumpul dari target Rp 200.000.000