Abah Udin setiap hari berjibaku tanpa henti selama 24 jam penuh, mulai dari pukul 6 pagi hingga kembali lagi di waktu yang sama keesokan harinya. Ia duduk lama di atas perahu tuanya, menanti ikan masuk ke jaring sambil terus menimba air yang bocor dari dasar perahu. Teriknya matahari di siang hari dan dinginnya angin malam sudah menjadi bagian dari hidupnya—semua itu ia jalani demi menghidupi keluarga.

Meski telah lama mengidap asma akut, Abah Udin tetap memaksa diri untuk bekerja. Ia tahu, jika berhenti, tak akan ada makanan di meja dan tak akan ada uang untuk membeli obat. Saat fajar mulai menyingsing, ketika udara sedang menusuk tulang, serangan asmanya sering kambuh—napasnya terasa berat, batuk tak berhenti, tapi ia tetap bertahan, karena menyerah bukan pilihan.

Menyayat hati, bukan? Di usianya yang telah menginjak kepala tujuh, seharusnya Abah Udin bisa menikmati hari-hari tuanya dengan damai—duduk di kursi goyang, menikmati secangkir kopi atau teh hangat di rumah. Namun, realitas berkata lain. Setiap hari, ia masih harus berjuang tanpa lelah, bekerja tanpa henti demi memastikan keluarganya tetap bisa bertahan hidup.

Tak jarang, muncul rasa malu sendiri saat kita mengeluh karena merasa lelah. Jika dibandingkan dengan perjuangan Abah Udin, apa yang kita hadapi terasa begitu kecil…

Kadang muncul juga pikiran sederhana, “Kenapa Abah Udin nggak tinggal pasang jaring, lalu pulang, dan ambil hasilnya besok pagi? Bukankah itu lebih ringan daripada duduk berjam-jam sambil bolak-balik menimba air perahu yang bocor?”

Kami pun sempat mempertanyakan hal yang sama. Tapi saat disampaikan, Abah Udin hanya menyunggingkan senyum lelah, lalu berkata pelan,

“Abah juga pengennya begitu, Den. Pasang jaring, pulang dulu, besok tinggal ambil. Tapi pas Abah coba, paginya... jaringnya udah gak ada. Ada yang nyolong.”

Nyawa Abah Udin pun pernah nyaris melayang. Suatu hari, perahu tuanya yang bocor tak lagi sanggup menahan air, hingga akhirnya tenggelam di tengah danau. Di lain waktu, karena terlalu lelah dan menggigil di malam hari, asmanya kambuh mendadak hingga membuatnya terjatuh tak berdaya.

Dengan mata menerawang dan suara lirih, Abah berkata,

“Alhamdulillah... selalu ada yang lihat Abah setiap kali kejadian begitu. Kalau nggak, mungkin Abah udah nggak ada sekarang…”

Setiap hari, Abah Udin hanya mendapat 1–2 kilo ikan, seringnya malah cuma 1 kilo seharga Rp15 ribu. Kerja keras seharian, tapi hasilnya tak sebanding.

Sesampainya di rumah, Abah masih harus merawat adiknya yang mengalami gangguan jiwa. Tak ada waktu untuk istirahat, meski tubuhnya sudah sangat lelah.

#TemanKebaikan, hingga kini Abah belum pernah menjalani pengobatan karena tak mampu. Penyakitnya makin memburuk.