Abah Jahri kini berusia 85 tahun, ia bekerja sebagai pengumpul limbah plastik, dengan kaki yang sedang kesakitan dikarnakan rematik, dan sekarang ia tinggal bersama emak di satu rumah gubuk yang menjadi langganan banjir.

 Mencari nafkah sehari-hari berkeliling kampung untuk mencari sampah plastik dengan roda tua nya yang sudah usang dan rusak, sampah plastik yang ia dapat sendiri, ia kumpulkan dihalaman rumahnya agar setelah terkumpul banyak abah bisa menjual, nyataknya tak ada lagi yang bisa abah lakukan selain melakukan pekerjaan ini.

Sudah berpuluh -puluh tahun abah Jahri menjadi pengumpul sampah plastik. Dengan tanpa kenal lelah, setiap hari beliau menempuh perjalanan berkilo kilo meter dari desa ke desa untuk mencari limbah atau sampah plastik. Meski dengan badan yang sudah renta dan kaki yang sering kali terasa nyeri, beliau pantang menyerah agar bisa membeli beras untuk makan bersama emak.

Keuntungan yang didapat tidaklah banyak, hanya berkisar 20-30 ribu saja per 2 hari, itu pun kalau abah mendapatkan limbah plastik dan kardus yang banyak. Seringkali abah hanya membawa sedikit sampah plastik, dengan pasrah abah Jahri pulang dengan tangan kosong, hanya rasa lelah yang abah Jahri dapat.

Letak rumah yang menjadi langganan banjir sampai 1 meter, Ketika hujan turun sangat deras abah dan emak mau tidak mau harus menumpang di rumah tetangga dan juga harus merelakan barang - barangnya terendam air. Dan apabila tidak ada tetangga yang menawarkan abah dan emak untuk mengungsi, abah dan emak harus rela tidak tidur, hanya duduk diatas meja sambil menunggu airnya surut.

Abah Jahri selalu berharap bisa memiliki tempat tinggal yang lebih layak, sehingga tidak akan merasa khawatir akan atap yang bocor dan banjir ketika musim hujan tiba. Dan juga memiliki modal usaha agar bisa berjualan dari rumah tanpa harus berjalan jauh lagi.

"Pami aya artosna abah mahh hoyongna ngalereskeun bumi nu balocor heula cep, meh abah teu hariwang pami nuju musim hujan" ujar abah dengan tatapan kosongnya