Rela Menahan Lapar Demi Keluarganya Di Kampung
terkumpul dari target Rp 50.000.000
"Selama ini saya hanya mampu makan nasi dan kerupuk untuk menahan lapar, atau sebungkus roti untuk mengganjal perut. Uang hasil dari mulung saya tabung buat istri dan anak dikampung..." ~ungkap Abah iyep
Tubuh lemah itu ia paksa kuat bekerja, tetap berjuang demi sesuap nasi dengan mencari rongsokan.
Dari pagi hingga sore Abah Iyep (64 tahun) keliling dengan jarak tempuh puluhan kilometer. Dalam satu hari tak banyak yang beliau kumpulkan. Sampah-sampah yang sudah terkumpul kemudian akan dijual ke pengepul. Namun, tidak setiap hari abah bisa mendapatkan uang dari hasil memulung sampah.
Barang bekasnya ia jual seminggu sekali. Dan uang yang didapatkan tergantung kepada sampah yang dikumpulkan. Seminggu memungut sampah penghasilannya tidak lebih dari 80 ribu. Ini sungguh tak sebanding dengan perjuangannya.
Tak ada pilihan lain selain bekerja sebagai pemulung. Usia tidak menyurutkan semangatnya mencari nafkah, apapun beliau lakoni untuk kebahagiaan keluarganya dikampung.
Tak jarang ketika Abah bekerja, kakinya terasa gemetaran karena hanya bisa menahan lapar. Sesekali duduk dan minum air putih untuk mengganjal rasa laparnya.
Jika malam tiba, abah harus rela tertidur diatas tumpukan sampah yang telah dipungutnya sambil menahan perihnya perut yang kelaparan. Udara dingin yang menusuk disekujur tubuhnya hanya bisa ditutupi dengan potongan kardus bekas yang telah dipungutnya.
#TemanBaik,begitu berat perjuangan seorang ayah demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Kisah Abah Iyep mengingatkan kita semua terhadap sosok ayah hebat dirumah bukan?
Untuk itu, mari bantu ringankan beban Abah iyep dan para pejuang nafkah dijalanan dengan sedikit rezeki yang kita miliki saat ini.
Rela Menahan Lapar Demi Keluarganya Di Kampung
terkumpul dari target Rp 50.000.000