“Kalau lagi nahan sakit dan kejang, Dinda suka pukulin kepalanya sendiri sambil nangis, sampai ngebenturin kepalanya ke tembok.” – ungkap Bu Dian (44)

Sejak usia Dinda Rahayu (11) 8 bulan, ia sudah divonis lumpuh otak (Cerebral Palsy). Ia mengalami kerusakan sel saraf, epilepsy, meningitis hingga TB Paru.

Akibatnya Dinda sering kejang dan koma, tangan dan kakinya kaku hingga bengkok, tapi setelah dilakukan terapi kondisinya perlahan membaik.

Sampai saat ini Dinda tidak bisa jalan dan bicara, hanya penglihatan dan pendengarannya yang normal. Semua aktifitasnya dibantu ibunda tercinta dan sang Kakek.

Dinda hanya bisa mengesot dan menunjuk tangan nya jika menginginkan sesuatu.

“Saya tidak sanggup membayangkan semakin Dinda bertambah usia, kondisinya masih gini. Kalo saya dan Abah udah ga ada gimana, siapa yang rawat?” – lanjut Bu Dian.

Selain harus merawat Dinda, Bu Dian harus bekerja sebagai buruh konveksi dekat rumahnya dengan penghasilan 500 ribu per dua minggu. Itupun tidak setiap hari ada pekerjaan.

Semua ini ia lakukan demi memenuhi kebutuhan Dinda, tidak mudah memang karena biaya berobat rutin Dinda sangat mahal.

"Kerjaan apapun akan saya lakukan yang penting halal, yang penting Dinda harus tetap berobat" – tambahnya.

Dulu Abah Aceng (70), Kakek Dinda berjuang jualan sandal, tapi usahanya gulung tikar karena pandemi tahun lalu. Kini Abah hanya membantu menjaga Dinda saat Bu Dian bekerja.

"Walau kondisi Dinda seperti ini, bagaimana pun dia tetap cucu saya, Saya tetap menyayanginya lillahi ta’ala.” – ucap Abah Aceng.

“Kadang saya suka sedih, waktu saya ajak jalan Dinda dengan kursi roda di sekitar kontrakan, banyak anak anak yang mengolok ngoloknya” – lanjutnya.

Kini, kondisi Dinda masih harus rutin kontrol setiap minggu ke Rumah sakit santo yusup Bandung. Jika tidak kondisinya akan memburuk.

Meskipun memiliki BPJS, Bu Dian mengaku kewalahan membiayai kebutuhan berobat dan beberapa terapi dan obat yang tidak tercover BPJS.

Setiap berobat, Bu Dinda dan Abah Aceng hanya berjalan kaki menuju rumah sakit, sambil mendorong Dinda dengan menggunakan kursi roda.

Bagi Bu Dian, biaya menjadi kendala dalam pengobatan anak tercintanya. Jangankan untuk biaya pengobatan, untuk kebutuhan makan, bayar kontrakan, kebutuhan bulanan seperti susu dan popok pun sangat keteteran.

Belum lagi mereka harus membayar hutang hutangnya yang dulu pernah digunakan untuk pengobatan Dinda hingga puluhan juta rupiah.

"Ayah Dinda gak pernah peduli dengan kondisi Kami, saya yang berjuang sendiri banting tulang, untung ada Abah yang selalu sabar menemani saya menghadapi ujian ini" – tambahnya.

Sahabat Kebaikan, pengorbanan mereka merawat Dinda tidak semudah itu. Namun, mereka tetap berjuang agar Dinda bisa terus berobat. Mereka berharap Dinda bisa sembuh dan tumbuh menjadi anak normal seperti anak lainnya seusianya.

Jika ada rezekinya, mereka berharap ingin mempunyai modal usaha, juga untuk keperluan Dinda yang jarang terpenuhi karena keterbatasan mereka.

Disclaimer : Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk memenuhi segala keperluan keluarga Dinda. Juga akan digunakan untuk penerima manfaat lainnya yang membutuhkan di bawah naungan Global Sedekah Movement.