
Temani Perjuangan Bu Yani Untuk Kesembuhan Suaminya
terkumpul dari target Rp 50.000.000
“Saya ridho… saya ikhlas merawat Abah. Selama saya masih bernapas, saya akan tetap jaga dia.”
Kalimat itu keluar pelan dari bibir Ibu Yani (65 tahun), perempuan sederhana yang kini menjadi segalanya bagi suaminya, Abah Awip (71 tahun). Tak ada air mata yang tumpah, hanya sorot mata penuh kesabaran dan cinta yang tak pernah padam, meski tubuhnya sendiri mulai melemah.
Semuanya bermula dari Abah yang tiba-tiba mengalami sakit perut hebat. Awalnya dikira hanya masuk angin biasa. Tapi rasa sakit itu tak kunjung reda. Setelah berbulan-bulan menahan nyeri dan mengumpulkan uang untuk bisa periksa ke rumah sakit dan dokter mengatakan jika abah menderita kanker usus stadium lanjut.
Sejak itu, hidup mereka berubah. Abah harus menjalani empat kali operasi besar. Setiap operasi membawa harapan namun berujung kecewa. Kini, Abah hanya bisa bertahan hidup dengan kantong kolostomi, alat bantu buang air besar karena sebagian ususnya telah diangkat.
Namun di balik semua kekecewaan dan kelelahan itu, di samping tubuh Abah yang makin kurus dan lemah, ada sosok sang istri yang tak pernah pergi, yang setia mendampingi dan merawatnya tanpa henti.
Setiap hari, sebelum matahari terbit, ia sudah beranjak dari rumah. Bukan untuk istirahat, melainkan untuk bekerja sebagai buruh pembuat aci di rumah tetangga. Upahnya hanya Rp25.000 per hari. Dengan tangan renta dan tenaga yang hampir habis, ia mengaduk tepung sambil berharap uang itu cukup untuk membeli beras dan kantong kolostomi bagi suaminya.
Namun harga kantong kolostomi bahkan lebih tinggi dari upah hariannya. Seringkali, Ibu Yani harus membuat pilihan yang memilukan antara makan atau membeli kantong untuk Abah.
Setiap malam, Ibu Yani tidak bisa tenang. Justru saat dunia tidur, ia mulai diliputi kegundahan. Karena malam hari adalah saat-saat rasa sakit Abah semakin menjadi-jadi.
"Saya sering takut kalau malam datang... karena biasanya Abah mulai kesakitan. Saya cuma bisa temani dia, elus-elus punggungnya, sambil tahan tangis dalam hati." Ucapnya pelan. Tak ada Dokter, tak ada obat hanya pelukan dan do’a yang bisa ia berikan.
Abah dulunya lelaki yang ramah, kuat, dan suka menolong. Ia sering bercanda dengan anak-anak di sekitar rumah. Kini, ia hanya bisa berbaring diam, menatap langit-langit rumah reyot mereka menunggu waktu berlalu, sambil menahan nyeri yang terus menggigit tubuhnya.
“Saya nggak pernah menyangka hidup kami akan sesulit ini. Dulu Abah kuat, kami saling bantu dan tertawa bersama." Ucap Bu Yani pelan. Matanya sembap tapi ia tetap berusaha tegar. Karena ia tahu, kalau ia runtuh, siapa lagi yang bisa merawat Abah.
Insan Baik, jangan biarkan mereka berjuang sendiri, jangan biarkan Abah terus menahan sakit hanya karena tak punya biaya. Jangan biarkan Bu Yani terus memilih antara makan atau membeli kantong kolostomi untuk suaminya.
Hari ini, kamu bisa menjadi bagian dari harapan mereka. Mari Bantu Abah dan Bu Yani terbebas dari derita. Sekecil apa pun bantuanmu, bisa menjadi alasan mereka bertahan hari ini.
Disclaimer : Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk penunjang kesehatan Abah dan juga kebutuhan pangan Ibu Yani dan Abah Awip. Juga akan digunakan untuk keberlangsungan program sosial kemanusiaan dan penerima manfaat lainnya dibawah naungan Amal Baik Insani.

Temani Perjuangan Bu Yani Untuk Kesembuhan Suaminya
terkumpul dari target Rp 50.000.000